Selasa, 08 Juni 2010

Siang tadi saya dan 2 orang lainnya dari Vietnam dan Amerika di panel dalam international conference on people with disabilities and CRPD (Convention Rights of People with Disabilities). Ini adalah pengalaman yang luar biasa bagi saya, Saya ketemu profesor disability dari Tample, Syracuse, pimpinan ADA, direktur Disabillityinstitute,org, Direktur Harvard Project on Disability dan seterusnya, masih banyak lagi orang2 keren yang aku temui di buku2 dan jurnal-jurnal.

Dalam bahasa inggeris yang Ndeso, saya agak deg-degan dan nervous. Pelan2 saya memulai presentasi saya ttg disability movemen yang kemudian di kaitkan dengan CRPD kaum difabel. Singkatnya presentasi saya bilang, kalau disability awarness di Indonesia sangat minim, bahkan jarang. kita punya 7-8% kaum difabel, itu artinya kita ada skitar 18-20 juta penduduk yang difabel..tapi kita adalah negara yang sangat renta, karena kita ada potensi gempa bumi, tsunami, dan seterusnya. tapi sayang disability awarness di Indonesia kurang.

Kenapa kurang? karena isu2 di Indonesia itu bagi saya masih tergantung dengan negara2 luar, negara negara besar. Isu perempuan dan isu pluralism sangat seksi di indonesia. Sumpah, di depan mereka gwe bilang..gara2 pristiwa WTC /11/10/2001 isu2 soal agama, dialog antar agama dan lainnya sangat membajiri kita dan disability issue hampir dilupakan publik Indonesia. Buktinya, setelah meretivikasi tak ada domestic law, bahkan aturan untuk pemilu kemarin juga presiden dan DPR tidak boleh difabel..gila ga seeeh..terus apa artinya tahun 2006 Indonesia meretivikasi CRPD. hohooh..

Kerry Tampson direktur disability rigths fund di amerika mendekati saya, dia Deaf. Lalu menawarkan kerjasama, dan sangat tertarik dengan indonesia. Lalu saya iyakan....(proposal akan saya ajukan kata saya hehehhe).

ini adalah pengalaman terhebat saya selama dalam karir saya sebagai aktivis difabel. Bertemu dengan puluhan orang aktivis difabel, pakar difabel, dan orang-orang difabel di Amerika. Thanks God atas kesempatan ini..

KEBEBASAN!!

Kebebasan Tak Pernah Menipu

Slamet Thohari
Alumni Filsafat UGM


Banyak orang menggambarkan orang Barat itu anti agama, sekuler, tak bermoral dan rasional. Namun, dalam wujud yang bagaimana sebenarnya orang Barat? Karena darah, pola pikir, negara atau yang bagaimana? Di Amerika, banyak aliran yang aneh. Di Delt Belanda dan Moenteral Kanada banyak umat Islam yang bergerombol dan taat pada Abdul Qodir Jailani. Di Amerika banyak kulit yang hidup bebas, dari negro yang kelam, karabian, kulit licin ala Cina, Yahudi yang masih taat mejalankan “slametan”: pass-over, hingga kulit rekayasa ala Jacko. Semuanya tampak abu-abu. Karena semua adalah pencitraan.

Fatimah, si gadis kecil warga Prancis keturunan Aljazair, lahir tak boleh pakai kerudung saat ke sekolah. Alito, lelaki shaleh yang menganggap homoseksual itu melanggar moral, diangkat oleh Bush sebagai Hakim Agung. Seorang teman, ketika bertandang ke San Fransisco, mengalami diskriminasi birokrasi yang luar-biasa, sebab ibunya dari Bantul memberinya nama Muhammad Faruq. Nasib yang bertolak belakang dialami oleh si Widodo alias Jabrik, teman seangkatannya. Dus, Barat juga diskrimintif, Barat juga konservatif, Barat juga shaleh bahkan religius.


Bush, sang koboi mantan gubernur Texas, tidak mengetahui bahwa Brasil memiliki orang kulit hitam, bahwa Saddam Hussein—seberapapun jahatnya—tidak memiliki hubungan dengan kejadian 11 September, dan bahwa pemanasan global tidak membutuhkan konsensus yang lebih lanjut dari para ilmuwan. Lebih mengerikan lagi, Bush telah menghancurkan hukum internasional dengan tidak meratifikasi konvensi hukum internasional, merusak Konvensi Kyoto, meluruhkan perekonomian Amerika, dan membawa dunia pada sebuah peperangan yang hampir tak berhenti. Bush adalah orang Amerika, dan Amerika itu Demokrasi, sekularisme dan kebebasan. Lantas, demokrasi, sekularisme dan kebebasan dituduh sebagai perampok, penjahat, pembohong, dan paradoks.


Orang-orang geram, marah dan bertindak semaunya. Memberikan stempel demokrasi dan kebebasan itu anti agama, musuh Islam, bohong belaka dan bagian dari instrumen negara-negara Barat untuk menjinakkan bahkan menghancurkan negara-negara Dunia Ketiga, negara-negara Islam dan seterusnya.
Lantas, apakah kebebasan sebagai punggung demokrasi itu? Cukuplah buku-buku Philip Petit, Isiah Berlin, Dahl, Rawls, Habermas dan filsuf-filsuf pandai yang berdebat itu di kamar anda, menemani ketawa sebelum tidur. Sederhanakan saja menjadi sebuah persekutuan di mana berbagai ruang dan wilayah, akses, ekspresi dan kemugkinan pemanfaatnya terbagi secara merata di antara berbagai individu maupun kelompok sosial dan kultur, dalam segi ekonomi, aktualisasi diri dan dasar-dasar yang menjadi prinsip-perinsip hak asasi manusia. Itu saja.


Demokrasi adalah permainan sepak bola, ada aturan-aturan permainan yang fair, ada hukum-hukum yang tidak memihak, ada wasit yang mengawasi dan seterusnya. Silahkan pakai formasi 4-4-3, silahkan pakai pola permainan pendek ala Italia, bola cepat dan attractive ala Argentina, hit and run ala Inggeris dulu, dan seterusnya. Tapi Anda tidak boleh menggundang, tacckle dari belakang, apalagi sampai menarik baju. Semua musti fair. Aturan-aturan tidak boleh mengutamakan suku tertentu, orang tertentu, agama tertentu, ideologi tertentu. Apapun agamamu, apapun gayamu, apapun orientasi seksualmu, bagaimanapun pakaianmu, shaleh atau ateis semuanya boleh hidup. Semuanya mempunyai hak yang sama, semuanya boleh bermain.


Dengan demikian, politik penyerangan Irak Bush adalah Zidane “Zainudin” yang menggundang pemain Italia. Pelarangan kerudung dan atribut agama di Perancis adalah wasit yang tidak fair, undang-undang pelarangan PKI adalah aturan yang tidak memperbolehkan main 4-3-4, undang-undang pronografi adalah aturan yang mewajibkan setiap pemain tidak boleh gondrong seperti Ronaldinho, tidak boleh botak seperti Ronaldo.


Demokrasi, sekali lagi, adalah ruang tanpa pendisiplinan dan homogenisasi. Hitler dipilih secara demokratis dalam sebuah masyarakat Jerman yang terdemoralisasi. Yang namanya demagog, penghasut, orang gila, pemimpi, dan pemimpin berdarah dingin, telah dan kemungkinan akan menjadi pemimpin lewat sistem ini. Seperti kata Eric Fromm, manusia tampaknya memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri, demi kenyamanan dari pemimpin yang dekat di hati, tetapi jauh dari otak. Lalu peristiwa Holocous terjadi, menerapkan kebijakan eugenik pada orang-orang lemah dan membunuh disabled, cripled, dan handicap.
Andaikan saja ada Partai Jawa Indonesia (PJI), karena Indonesia 64 % orang Jawa, dia menang. Maka Indonesia diubah menjadi keraton, menebarkan prinsip-prinsip harmonis, mewajibkan orang pakai belangkon, dan konsep piramida kekuasaan “ndaru” ala Anderson di institusikan, dan Peterpan musti merubah lagunya “ ono opo karo kowe”. (ada apa denganmu) Cocounuttree berkewajiban mengganti judul lagunya “sugeng rawuh teng suwargi kulo” (welcome to my paradise)


Demokrasi bukanlah menang secara arif, kemudian memberangus. Seorang Kyai dengan kitab kuningnya, seorang pendeta lulusan kepasturan di Magelang, seorang Bissu di Sulawesi, seorang sastrawan ateis yang suka duduk di Starbuck, dan siapa saja boleh mencalonkan diri sebagai presiden atau gubernur, asal dia tidak otoriter, asal dia menjaga peraturan dan menjadi wasit yang fair, menjaga keleluasan dan keterbukaan negara untuk semua ideologi, agama, dan hak-hak individu untuk hidup. Itulah demokrasi dan itulah kebebasan. Kebebasan tak pernah menghalangi anda, bukan pula sesuatu yang menakutkan bagi ideologi apapun, budaya apapun.


Kini Baghdad tidak lagi aman, ricuh, dan menakutkan, banyak mayat mudah ditinggal pergi nyawanya.Penyiksaan di Guantanamo dan semua kekonservatisan Bush adalah bukti kekalahannya sendiri. Dia kalah dengan Saddam, hingga dia musti melanggar hukum, melanggar kebebasan atas nama kebebasan. Dia kalah, untuk itu dia geram dan tidak fair, melanggar aturan. Untuk merebut bola, dia men-tacckle dari belakang para musuh-musuhnya dengan F-16. Di negaranya sendiri, dia kalah, dengan kelompok liberal pendukung pajak, pendukung lingkungan, pendukung hak-hak aborsi, homoseksual, dan masalah minoritas lainnya. Lalu Bush, seorang ultra-konservatif, sangat agamis, dan anti pajak, penghamba para ekstrimis protestan, mengangkat Alito, sebagai godam pengisntitusian pikiran-pikirannya yang anti kebebasan. Sekali lagi, dia tidak fair. Karena dia (takut) kalah jika tidak melakukan itu.


Dengan begitu tak ada yang paradoks dengan kebebasan, karena kebebasan adalah prinsip menghargai pluralitas, hak-hak manusia dan penciptaan aturan yang fair. Di Indonesia ada banyak orang-orang yang disikapi secara tidak fair. Orang-orang Ahmadiyah, orang-orang yang menganggap dada dan seks sebagai tertawaan. Orang-orang PKI yang pernah dibunuh—paling sedikit data yang tertulis adalah 78.000, sedang yang lainya rata – rata 300.000 hingga 1 juta manusia (Cribb, 1990 : 23)— orang-orang Bali dan Timika yang secara turun-temurun mengangap payudara itu seperti tangan dan kuping tak perlu ditutupi, mereka disikapi tidak fair oleh UU pornografi. Dan masih banyak lagi.


Anda akan menjadi seperti Bush, jika kebebasan dan demokrasi anda tentang. Dan tentu saja anda menjadi tidak fair. Dan anda kalah. Kepala boleh sama-sama berbulu, tetapi isi kepala tentu saja akan berbeda. Untuk itu diperlukan sebuah wilayah yang tanpa dominasi, dimana masing-masing individu anggota wilayah tersebut mampu menuangkan ekspresi dirinya tanpa rasa berat, leluasa, dan merasa nyaman, sebuah ruang dimana semuanya merasa “merdeka” dan memiliki akses yang sama, berkedudukan sama. Konsensus antara satu dengan yang lain dibentuk secara deliberatif dan melalui proses perjuangan kompromis dengan nalar rasional. Dan kebebasan tak pernah membohongi atau menipu, sebaliknya dia adalah refleksi perjalanan manusia yang luar biasa.

Dimuat di majalah, LSAF Jakarta

DIFABEL DAN NEGARA BANGSA

Kaum Difabel dalam Negara-Bangsa
Oleh: Slamet Thohari

Seratus tahun sudah, kebangkitan Indonesia. Se-abad sudah, buah “keras kepala” anak-anak muda yang herois kita rasakan. Kini, Indonesia menjadi sebuah bangsa. Semuanya tak lepas dari peran hiruk-pikuk pemuda dan pergulatan orang-orang yang memegang teguh idealisme, tahan banting dan “revolusioner”.

Kemerdekaan tentu bukanlah “gelombang dalam cangkir”. Erat hubungannnya dengan “musim” revolusi yang memang sedang gemuruh sekitar tahun kemerdekaan. Pada tahun 1896 berkobar revolusi nasional untuk pertama kalinya di Filipina yang digerakkan oleh anak muda yang stubborn. Tingginya gunung dan lebatnya hutan ditundukkan. Demi satu tujuan: Filipina merdeka!. Dialah Apolinario Mabini, otak utama dari revolusi Filipina. Mabini adalah satu-satunya orang yang menulis gambaran dengan cemerlang revolusi saat itu, hingga kenapa revolusi bisa gagal? Mabini selalu konsisiten, terus melawan penjajahan Amerika, bahkan sempat pula diasingkan ke Guam. Dan yang membuat setiap orang kagum, dia adalah seorang difabel. Kakinya tidak bisa digunakan hingga kemana-mana musti ditandu. Dia pula salah satu orang yang dikagumi oleh banyak kalangan, setingkat dengan Jose Rizal, tokoh Filipina yang mati muda itu.

Jika memang perubahan di Indonesia tak bisa dilepaskan dari gejolak yang ada di Asia, maka jelas sudah Mabini yang dikategorikan cacat itu telah memberikan inspirasi bagi bangsa ini untuk menjadi kerumunan yang tegak sebagai “nation-state”. Namun aneh, setelah secara resmi Indonesia menjadi negara-bangsa, harapan kemakmuran dan keadilan bagi orang-orang difabel jauh dari menyenangkan. Bahkan lebih dari itu, luput dari kajian dan dalam perbincangan wacana sosial. Lantas apakah makna bangsa Indonesia bagi Difabel?


Ada baiknya bila kita buka kembali, benarkah sumpah pemuda merupakan titik kulminasi perasaan dan pengalaman bersama, atas relitas setiap kebudayaan dan individu yang berbeda-beda? . Adakah kekosongan akibat dominasi kuasa atas konsep “berbangsa satu”, “bertanah air satu”, dan “berbahasa satu”? Sebuah kekosongan dan dominasi kuasa kepentingan tertentu, sehingga dari sekian perbedaan, ada yang terbengkelai, tak tartilbatkan dalam proses tersebut. Jika tidak, lantas kenapa dalam membangun bangsa ini orang-orang difabel tak pernah diberi ruang yang sama, pemenuhan hak yang sama dengan warga negara yang lainnya?. Ataukah sebenarnya negara bangsa ini merupakan produk ideologi “normalisme”, sehingga Indonesia merupakan “imagined-normal societies”?.

***

Dalam altar sejarah, negara bangsa merupakan produk dari sebuah konsep keperkasaan, “kenormalan” dan kekerasan. Awal konsep negara merupakan sebuah kontruksi dari rentetan perang panjang. Perjanjian Westphalia tahun 1648. Perjanjian ini merupakan peralihan dari kekuasaan gereja ke daulat sang raja. Dan perjanjian ini merupakan akomodasi untuk perang yang berdurasi 30 tahun (Gidden, 2000). Dalam setiap perang selalu ada disana tentara, keperkasaan, kelelakian. Kuasa normalisme meresap di sana. Gelombang nasionalisme juga merupakan riak Marthin Luther. Sang komandan besar dalam reformasi Protestan yang merestui pembunuhan bayi-bayi difabel karena dianggap sebagai sebagai “titisan setan” (Colin, 1997).

Ideologi normal menilai difabel sebagai masalah, sebagai bagian dari “penyakit” dan “patologi sosial”. Mereka diobjekkan secara medis, hingga kemudian di “rehabilitasi”, selayaknya rumah yang rusak. Panti-asuhan dan pusat rehabilitasi didirikan di mana-mana, dibangun untuk menseterilkan difabel. Mereka selayaknya “orang gila” pada abad pertengahan Eropa, dienyahkan kuasa yang didahului sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/medis (Foucault, 1988).

Lalu medikalisasi pun terjadi di bangsa ini, pertama kali diperkenalkan oleh VOC (Verenidge Oost-Indische Compagnie). Pada Tahun 1621 mulailah dibangun berbagai rumah-rumah kecil khusus untuk pengobatan yang beredar di sekitar benteng-benteng Batavia dimana kuasa sejati ditancapkan. Kuasa medis semakin kuat dan meneguhkan dirinya sejak Tuan Walondo H.W Daendels membenahi sistem dan memperluas rumah-rumah medis bagi militer dengan membentuk jaringan rapi tahun 1808. Hingga tahun 1820, rumah sakit untuk sipil atau stadsverbandhuizen mulai dibuka, lebih jauh lagi di Batavia untuk pertama kalinya stadsverbandhuizen menangani orang yang mengindap usia renta dan difabel. (Scortino, 1996 dalam Peter Boomgard, 1996: 24-29). Inilah kemudian yang nantinya menjadi panti-panti asuhan, dan SLB (Sekolah Luar Biasa) yang memisahkan difabel dari masyarakat.

Normalisme terus berlanjut. Perang dunia kedua (1939-1946) merupakan bukti sejarah. Kegagahan, keperkesaan, kekuatan dan normalisme tampil dalam wajah tentara-tentara. Dan buah dari normalisme pun terlihat, sekitar 291.557 tentara AS mati, 357.116 tentara Inggris, dan lebih dari 1 juta tentara China hilang. Lebih dari 3 juta tentara Jerman menjadi korban. Belum lagi negara-negara lain, terlebih negara dunia ketiga. Jutaan orang menjadi difabel, bahkan gugur sebagai korban perang yang paling besar sepanjang sejarah umat manusia itu. Bahkan setelah Bom atom diledakkan, ribuan orang binasa, akibat keangkuhan normalisme. Banyak warga negara yang menjadi difabel, bahkan menimbulkan efek kultural yang panjang. Hibakusa, orang-orang yang menjadi difabel karena efek nuklir di Jepang, dijauhi dan terkucilkan. Bahkan anak turun Hibakusa sulit mendapatkan pekerjaan atau pasangan.

***

Lantas, bagaimana dengan Indonesia sebagai Negara Bangsa? Dalam lintas sejarah, Jendral Sudirman adalah “Mabini Indonesia”. Sang Revolusioner, di atas tandu dia memimpin perjuangan. Naik-turun gunung, keluar masuk kampung, demi satu tujuan: kemerdekaan! . Banyak tentara yang kemudian menjadi difabel. Para veteran baik yang terpublik, maupun mereka yang berjuang, tak tercatat secara formal. Namun melekat dalam masing-masing masyarakat lokal. Mereka, tentu saja menjadi bagian dari proses mewujudkan Indonesia menjadi negara bangsa. Akan tetapi, makna negara bangsa itupun kemudian “dibajak” oleh kuasa normalisme. Berbagai atribut kebangsaan tak pernah melibatkan difabel sebagai bagian untuk dipertimbangkan.

Sukarno yang modernis, tergila-gila dengan kerapian, kemegahan. Impian-impian kegagahan tercermin dalam proyek-proyek besar: Monas, Isttiqlal, dan halaman luas disediakan untuk tentara-tentara yang gagah. Sukarno adalah Sang megalomanian, optimis pendamba kerapian, pengagum bangunan-bangunan Soviet yang gagah, dan perkasa. Patung-patung monumental bernada misi kegagahan, dan keperkasaan dipasang di banyak sudut kota (Kusno, 2003)

Decak normalisme pun bersikulasi, berlanjut pada kekuasaan selanjutnya. Orde Baru dengan Suhartonya pun melanjutkan mimpi-mimpi ini. Terlebih lagi, Orde Baru merupakan era kekuasan militer yang tentu sangat mendaba akan sebuah kota, dan negara “normal”. Demi kepentingan kekuasaan dan suksesnya program-program develpomentalisme. Orde Baru secara terang benderang melakukan political surveillance, dan politik tubuh demi kepentingan kuasa. Tubu-tubuh pun ditata, dipisahkan, di-liyan-kan dari orang biasa. Sekolah-sekolah khusus dibangun, dibedakan menurut jenis difabelitas. Sebagaimana istilahnya “Sekolah Luar Biasa” yang sarat dengan kuasa, kehadiran sekolah-sekolah khusus merupakan politik pengontrolan, simplikasi, dan tentu saja pendisiplinan demi sebuah kota/negara yang rapi dalam matrix persepsi “orang-orang normal”.

SLB ibarat kerangkeng (cage) penyucian agar para difabel bisa bersih dari penyakit atau “aib” yang dideritanya. Agar difabel mempunyai keahlian khusus: menjahit, sol sepatu, pijat berijazah, dst, karena hanya dengan ini mereka dapat menyesuaikan dengan alam “orang normal”. Itu berarti SLB merupakan wilayah penertiban, pendisiplinan dan penggodokan untuk orang difabel agar mampu mengikuti kehidupan dengan standar kenormalan. Kenapa demikian, tentu karena mereka merupakan kelompok devian (menyimpang) yang tentu saja musti diluruskan agar sesuai dengan gerak linier developmentalisme.

Di Indonesia, kini terdapat 1.084 Sekolah Luar Biasa. Dari jumlah tersebut 680 swasta dan 404 dikelola oleh pemerintah. Sekolah ini berdiri di mana-mana, dengan tipe dan bentuk yang berbeda-beda. Bahkan banyak diantaranya yang berdasar bentuk tubuh dan perbedaan kemampuan indera mereka: SLB Tuna Daksa, SLB Tuna Netra, SLB Tuna Rungu dan seterusnya. Sekolah Luar Biasa mungkin adalah sekolah yang ingin mengeluarkan mereka menjadi “tidak biasa”.
***

Seratus tahun sudah kebankitan nasional mengiringi semangat Indonesia menjadi bangsa. Satu abad sudah, rakyat Indonesia berusaha menemukan makna dirinya, untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Sejarah telah menjadi saksi, bahwa kaum difabel banyak peran dalam proses perjuangan bangsa ini tegak berdiri. Akan tetapi, karena kuasa normalisme proses menjadi bangsa pun kemudian tidak mampu dinikmati semua orang, terutama kaum difabel. Kondisi ini tentu dapat berubah, jika semua kalangan dalam masyarakat menjadikan perjuangan untuk memenuhi kesamaan hak bagi semua warga negara. Terlebih hak kaum difabel yang selama ini tersekap panjang. Bukankah negara-bangsa merupakan sebuah kesepakatan agar hak-hak setiap individu dalam masyarakat terlindungi: hak ekonomi, sosial, budaya politik dan seterusnya. Wallahu A’lam.

sedang belajar di University of Hawaii at Manoa
Slamet Thohari