Selasa, 08 Juni 2010

DIFABEL DAN NEGARA BANGSA

Kaum Difabel dalam Negara-Bangsa
Oleh: Slamet Thohari

Seratus tahun sudah, kebangkitan Indonesia. Se-abad sudah, buah “keras kepala” anak-anak muda yang herois kita rasakan. Kini, Indonesia menjadi sebuah bangsa. Semuanya tak lepas dari peran hiruk-pikuk pemuda dan pergulatan orang-orang yang memegang teguh idealisme, tahan banting dan “revolusioner”.

Kemerdekaan tentu bukanlah “gelombang dalam cangkir”. Erat hubungannnya dengan “musim” revolusi yang memang sedang gemuruh sekitar tahun kemerdekaan. Pada tahun 1896 berkobar revolusi nasional untuk pertama kalinya di Filipina yang digerakkan oleh anak muda yang stubborn. Tingginya gunung dan lebatnya hutan ditundukkan. Demi satu tujuan: Filipina merdeka!. Dialah Apolinario Mabini, otak utama dari revolusi Filipina. Mabini adalah satu-satunya orang yang menulis gambaran dengan cemerlang revolusi saat itu, hingga kenapa revolusi bisa gagal? Mabini selalu konsisiten, terus melawan penjajahan Amerika, bahkan sempat pula diasingkan ke Guam. Dan yang membuat setiap orang kagum, dia adalah seorang difabel. Kakinya tidak bisa digunakan hingga kemana-mana musti ditandu. Dia pula salah satu orang yang dikagumi oleh banyak kalangan, setingkat dengan Jose Rizal, tokoh Filipina yang mati muda itu.

Jika memang perubahan di Indonesia tak bisa dilepaskan dari gejolak yang ada di Asia, maka jelas sudah Mabini yang dikategorikan cacat itu telah memberikan inspirasi bagi bangsa ini untuk menjadi kerumunan yang tegak sebagai “nation-state”. Namun aneh, setelah secara resmi Indonesia menjadi negara-bangsa, harapan kemakmuran dan keadilan bagi orang-orang difabel jauh dari menyenangkan. Bahkan lebih dari itu, luput dari kajian dan dalam perbincangan wacana sosial. Lantas apakah makna bangsa Indonesia bagi Difabel?


Ada baiknya bila kita buka kembali, benarkah sumpah pemuda merupakan titik kulminasi perasaan dan pengalaman bersama, atas relitas setiap kebudayaan dan individu yang berbeda-beda? . Adakah kekosongan akibat dominasi kuasa atas konsep “berbangsa satu”, “bertanah air satu”, dan “berbahasa satu”? Sebuah kekosongan dan dominasi kuasa kepentingan tertentu, sehingga dari sekian perbedaan, ada yang terbengkelai, tak tartilbatkan dalam proses tersebut. Jika tidak, lantas kenapa dalam membangun bangsa ini orang-orang difabel tak pernah diberi ruang yang sama, pemenuhan hak yang sama dengan warga negara yang lainnya?. Ataukah sebenarnya negara bangsa ini merupakan produk ideologi “normalisme”, sehingga Indonesia merupakan “imagined-normal societies”?.

***

Dalam altar sejarah, negara bangsa merupakan produk dari sebuah konsep keperkasaan, “kenormalan” dan kekerasan. Awal konsep negara merupakan sebuah kontruksi dari rentetan perang panjang. Perjanjian Westphalia tahun 1648. Perjanjian ini merupakan peralihan dari kekuasaan gereja ke daulat sang raja. Dan perjanjian ini merupakan akomodasi untuk perang yang berdurasi 30 tahun (Gidden, 2000). Dalam setiap perang selalu ada disana tentara, keperkasaan, kelelakian. Kuasa normalisme meresap di sana. Gelombang nasionalisme juga merupakan riak Marthin Luther. Sang komandan besar dalam reformasi Protestan yang merestui pembunuhan bayi-bayi difabel karena dianggap sebagai sebagai “titisan setan” (Colin, 1997).

Ideologi normal menilai difabel sebagai masalah, sebagai bagian dari “penyakit” dan “patologi sosial”. Mereka diobjekkan secara medis, hingga kemudian di “rehabilitasi”, selayaknya rumah yang rusak. Panti-asuhan dan pusat rehabilitasi didirikan di mana-mana, dibangun untuk menseterilkan difabel. Mereka selayaknya “orang gila” pada abad pertengahan Eropa, dienyahkan kuasa yang didahului sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/medis (Foucault, 1988).

Lalu medikalisasi pun terjadi di bangsa ini, pertama kali diperkenalkan oleh VOC (Verenidge Oost-Indische Compagnie). Pada Tahun 1621 mulailah dibangun berbagai rumah-rumah kecil khusus untuk pengobatan yang beredar di sekitar benteng-benteng Batavia dimana kuasa sejati ditancapkan. Kuasa medis semakin kuat dan meneguhkan dirinya sejak Tuan Walondo H.W Daendels membenahi sistem dan memperluas rumah-rumah medis bagi militer dengan membentuk jaringan rapi tahun 1808. Hingga tahun 1820, rumah sakit untuk sipil atau stadsverbandhuizen mulai dibuka, lebih jauh lagi di Batavia untuk pertama kalinya stadsverbandhuizen menangani orang yang mengindap usia renta dan difabel. (Scortino, 1996 dalam Peter Boomgard, 1996: 24-29). Inilah kemudian yang nantinya menjadi panti-panti asuhan, dan SLB (Sekolah Luar Biasa) yang memisahkan difabel dari masyarakat.

Normalisme terus berlanjut. Perang dunia kedua (1939-1946) merupakan bukti sejarah. Kegagahan, keperkesaan, kekuatan dan normalisme tampil dalam wajah tentara-tentara. Dan buah dari normalisme pun terlihat, sekitar 291.557 tentara AS mati, 357.116 tentara Inggris, dan lebih dari 1 juta tentara China hilang. Lebih dari 3 juta tentara Jerman menjadi korban. Belum lagi negara-negara lain, terlebih negara dunia ketiga. Jutaan orang menjadi difabel, bahkan gugur sebagai korban perang yang paling besar sepanjang sejarah umat manusia itu. Bahkan setelah Bom atom diledakkan, ribuan orang binasa, akibat keangkuhan normalisme. Banyak warga negara yang menjadi difabel, bahkan menimbulkan efek kultural yang panjang. Hibakusa, orang-orang yang menjadi difabel karena efek nuklir di Jepang, dijauhi dan terkucilkan. Bahkan anak turun Hibakusa sulit mendapatkan pekerjaan atau pasangan.

***

Lantas, bagaimana dengan Indonesia sebagai Negara Bangsa? Dalam lintas sejarah, Jendral Sudirman adalah “Mabini Indonesia”. Sang Revolusioner, di atas tandu dia memimpin perjuangan. Naik-turun gunung, keluar masuk kampung, demi satu tujuan: kemerdekaan! . Banyak tentara yang kemudian menjadi difabel. Para veteran baik yang terpublik, maupun mereka yang berjuang, tak tercatat secara formal. Namun melekat dalam masing-masing masyarakat lokal. Mereka, tentu saja menjadi bagian dari proses mewujudkan Indonesia menjadi negara bangsa. Akan tetapi, makna negara bangsa itupun kemudian “dibajak” oleh kuasa normalisme. Berbagai atribut kebangsaan tak pernah melibatkan difabel sebagai bagian untuk dipertimbangkan.

Sukarno yang modernis, tergila-gila dengan kerapian, kemegahan. Impian-impian kegagahan tercermin dalam proyek-proyek besar: Monas, Isttiqlal, dan halaman luas disediakan untuk tentara-tentara yang gagah. Sukarno adalah Sang megalomanian, optimis pendamba kerapian, pengagum bangunan-bangunan Soviet yang gagah, dan perkasa. Patung-patung monumental bernada misi kegagahan, dan keperkasaan dipasang di banyak sudut kota (Kusno, 2003)

Decak normalisme pun bersikulasi, berlanjut pada kekuasaan selanjutnya. Orde Baru dengan Suhartonya pun melanjutkan mimpi-mimpi ini. Terlebih lagi, Orde Baru merupakan era kekuasan militer yang tentu sangat mendaba akan sebuah kota, dan negara “normal”. Demi kepentingan kekuasaan dan suksesnya program-program develpomentalisme. Orde Baru secara terang benderang melakukan political surveillance, dan politik tubuh demi kepentingan kuasa. Tubu-tubuh pun ditata, dipisahkan, di-liyan-kan dari orang biasa. Sekolah-sekolah khusus dibangun, dibedakan menurut jenis difabelitas. Sebagaimana istilahnya “Sekolah Luar Biasa” yang sarat dengan kuasa, kehadiran sekolah-sekolah khusus merupakan politik pengontrolan, simplikasi, dan tentu saja pendisiplinan demi sebuah kota/negara yang rapi dalam matrix persepsi “orang-orang normal”.

SLB ibarat kerangkeng (cage) penyucian agar para difabel bisa bersih dari penyakit atau “aib” yang dideritanya. Agar difabel mempunyai keahlian khusus: menjahit, sol sepatu, pijat berijazah, dst, karena hanya dengan ini mereka dapat menyesuaikan dengan alam “orang normal”. Itu berarti SLB merupakan wilayah penertiban, pendisiplinan dan penggodokan untuk orang difabel agar mampu mengikuti kehidupan dengan standar kenormalan. Kenapa demikian, tentu karena mereka merupakan kelompok devian (menyimpang) yang tentu saja musti diluruskan agar sesuai dengan gerak linier developmentalisme.

Di Indonesia, kini terdapat 1.084 Sekolah Luar Biasa. Dari jumlah tersebut 680 swasta dan 404 dikelola oleh pemerintah. Sekolah ini berdiri di mana-mana, dengan tipe dan bentuk yang berbeda-beda. Bahkan banyak diantaranya yang berdasar bentuk tubuh dan perbedaan kemampuan indera mereka: SLB Tuna Daksa, SLB Tuna Netra, SLB Tuna Rungu dan seterusnya. Sekolah Luar Biasa mungkin adalah sekolah yang ingin mengeluarkan mereka menjadi “tidak biasa”.
***

Seratus tahun sudah kebankitan nasional mengiringi semangat Indonesia menjadi bangsa. Satu abad sudah, rakyat Indonesia berusaha menemukan makna dirinya, untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Sejarah telah menjadi saksi, bahwa kaum difabel banyak peran dalam proses perjuangan bangsa ini tegak berdiri. Akan tetapi, karena kuasa normalisme proses menjadi bangsa pun kemudian tidak mampu dinikmati semua orang, terutama kaum difabel. Kondisi ini tentu dapat berubah, jika semua kalangan dalam masyarakat menjadikan perjuangan untuk memenuhi kesamaan hak bagi semua warga negara. Terlebih hak kaum difabel yang selama ini tersekap panjang. Bukankah negara-bangsa merupakan sebuah kesepakatan agar hak-hak setiap individu dalam masyarakat terlindungi: hak ekonomi, sosial, budaya politik dan seterusnya. Wallahu A’lam.

sedang belajar di University of Hawaii at Manoa
Slamet Thohari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar