Selasa, 08 Juni 2010

KEBEBASAN!!

Kebebasan Tak Pernah Menipu

Slamet Thohari
Alumni Filsafat UGM


Banyak orang menggambarkan orang Barat itu anti agama, sekuler, tak bermoral dan rasional. Namun, dalam wujud yang bagaimana sebenarnya orang Barat? Karena darah, pola pikir, negara atau yang bagaimana? Di Amerika, banyak aliran yang aneh. Di Delt Belanda dan Moenteral Kanada banyak umat Islam yang bergerombol dan taat pada Abdul Qodir Jailani. Di Amerika banyak kulit yang hidup bebas, dari negro yang kelam, karabian, kulit licin ala Cina, Yahudi yang masih taat mejalankan “slametan”: pass-over, hingga kulit rekayasa ala Jacko. Semuanya tampak abu-abu. Karena semua adalah pencitraan.

Fatimah, si gadis kecil warga Prancis keturunan Aljazair, lahir tak boleh pakai kerudung saat ke sekolah. Alito, lelaki shaleh yang menganggap homoseksual itu melanggar moral, diangkat oleh Bush sebagai Hakim Agung. Seorang teman, ketika bertandang ke San Fransisco, mengalami diskriminasi birokrasi yang luar-biasa, sebab ibunya dari Bantul memberinya nama Muhammad Faruq. Nasib yang bertolak belakang dialami oleh si Widodo alias Jabrik, teman seangkatannya. Dus, Barat juga diskrimintif, Barat juga konservatif, Barat juga shaleh bahkan religius.


Bush, sang koboi mantan gubernur Texas, tidak mengetahui bahwa Brasil memiliki orang kulit hitam, bahwa Saddam Hussein—seberapapun jahatnya—tidak memiliki hubungan dengan kejadian 11 September, dan bahwa pemanasan global tidak membutuhkan konsensus yang lebih lanjut dari para ilmuwan. Lebih mengerikan lagi, Bush telah menghancurkan hukum internasional dengan tidak meratifikasi konvensi hukum internasional, merusak Konvensi Kyoto, meluruhkan perekonomian Amerika, dan membawa dunia pada sebuah peperangan yang hampir tak berhenti. Bush adalah orang Amerika, dan Amerika itu Demokrasi, sekularisme dan kebebasan. Lantas, demokrasi, sekularisme dan kebebasan dituduh sebagai perampok, penjahat, pembohong, dan paradoks.


Orang-orang geram, marah dan bertindak semaunya. Memberikan stempel demokrasi dan kebebasan itu anti agama, musuh Islam, bohong belaka dan bagian dari instrumen negara-negara Barat untuk menjinakkan bahkan menghancurkan negara-negara Dunia Ketiga, negara-negara Islam dan seterusnya.
Lantas, apakah kebebasan sebagai punggung demokrasi itu? Cukuplah buku-buku Philip Petit, Isiah Berlin, Dahl, Rawls, Habermas dan filsuf-filsuf pandai yang berdebat itu di kamar anda, menemani ketawa sebelum tidur. Sederhanakan saja menjadi sebuah persekutuan di mana berbagai ruang dan wilayah, akses, ekspresi dan kemugkinan pemanfaatnya terbagi secara merata di antara berbagai individu maupun kelompok sosial dan kultur, dalam segi ekonomi, aktualisasi diri dan dasar-dasar yang menjadi prinsip-perinsip hak asasi manusia. Itu saja.


Demokrasi adalah permainan sepak bola, ada aturan-aturan permainan yang fair, ada hukum-hukum yang tidak memihak, ada wasit yang mengawasi dan seterusnya. Silahkan pakai formasi 4-4-3, silahkan pakai pola permainan pendek ala Italia, bola cepat dan attractive ala Argentina, hit and run ala Inggeris dulu, dan seterusnya. Tapi Anda tidak boleh menggundang, tacckle dari belakang, apalagi sampai menarik baju. Semua musti fair. Aturan-aturan tidak boleh mengutamakan suku tertentu, orang tertentu, agama tertentu, ideologi tertentu. Apapun agamamu, apapun gayamu, apapun orientasi seksualmu, bagaimanapun pakaianmu, shaleh atau ateis semuanya boleh hidup. Semuanya mempunyai hak yang sama, semuanya boleh bermain.


Dengan demikian, politik penyerangan Irak Bush adalah Zidane “Zainudin” yang menggundang pemain Italia. Pelarangan kerudung dan atribut agama di Perancis adalah wasit yang tidak fair, undang-undang pelarangan PKI adalah aturan yang tidak memperbolehkan main 4-3-4, undang-undang pronografi adalah aturan yang mewajibkan setiap pemain tidak boleh gondrong seperti Ronaldinho, tidak boleh botak seperti Ronaldo.


Demokrasi, sekali lagi, adalah ruang tanpa pendisiplinan dan homogenisasi. Hitler dipilih secara demokratis dalam sebuah masyarakat Jerman yang terdemoralisasi. Yang namanya demagog, penghasut, orang gila, pemimpi, dan pemimpin berdarah dingin, telah dan kemungkinan akan menjadi pemimpin lewat sistem ini. Seperti kata Eric Fromm, manusia tampaknya memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri, demi kenyamanan dari pemimpin yang dekat di hati, tetapi jauh dari otak. Lalu peristiwa Holocous terjadi, menerapkan kebijakan eugenik pada orang-orang lemah dan membunuh disabled, cripled, dan handicap.
Andaikan saja ada Partai Jawa Indonesia (PJI), karena Indonesia 64 % orang Jawa, dia menang. Maka Indonesia diubah menjadi keraton, menebarkan prinsip-prinsip harmonis, mewajibkan orang pakai belangkon, dan konsep piramida kekuasaan “ndaru” ala Anderson di institusikan, dan Peterpan musti merubah lagunya “ ono opo karo kowe”. (ada apa denganmu) Cocounuttree berkewajiban mengganti judul lagunya “sugeng rawuh teng suwargi kulo” (welcome to my paradise)


Demokrasi bukanlah menang secara arif, kemudian memberangus. Seorang Kyai dengan kitab kuningnya, seorang pendeta lulusan kepasturan di Magelang, seorang Bissu di Sulawesi, seorang sastrawan ateis yang suka duduk di Starbuck, dan siapa saja boleh mencalonkan diri sebagai presiden atau gubernur, asal dia tidak otoriter, asal dia menjaga peraturan dan menjadi wasit yang fair, menjaga keleluasan dan keterbukaan negara untuk semua ideologi, agama, dan hak-hak individu untuk hidup. Itulah demokrasi dan itulah kebebasan. Kebebasan tak pernah menghalangi anda, bukan pula sesuatu yang menakutkan bagi ideologi apapun, budaya apapun.


Kini Baghdad tidak lagi aman, ricuh, dan menakutkan, banyak mayat mudah ditinggal pergi nyawanya.Penyiksaan di Guantanamo dan semua kekonservatisan Bush adalah bukti kekalahannya sendiri. Dia kalah dengan Saddam, hingga dia musti melanggar hukum, melanggar kebebasan atas nama kebebasan. Dia kalah, untuk itu dia geram dan tidak fair, melanggar aturan. Untuk merebut bola, dia men-tacckle dari belakang para musuh-musuhnya dengan F-16. Di negaranya sendiri, dia kalah, dengan kelompok liberal pendukung pajak, pendukung lingkungan, pendukung hak-hak aborsi, homoseksual, dan masalah minoritas lainnya. Lalu Bush, seorang ultra-konservatif, sangat agamis, dan anti pajak, penghamba para ekstrimis protestan, mengangkat Alito, sebagai godam pengisntitusian pikiran-pikirannya yang anti kebebasan. Sekali lagi, dia tidak fair. Karena dia (takut) kalah jika tidak melakukan itu.


Dengan begitu tak ada yang paradoks dengan kebebasan, karena kebebasan adalah prinsip menghargai pluralitas, hak-hak manusia dan penciptaan aturan yang fair. Di Indonesia ada banyak orang-orang yang disikapi secara tidak fair. Orang-orang Ahmadiyah, orang-orang yang menganggap dada dan seks sebagai tertawaan. Orang-orang PKI yang pernah dibunuh—paling sedikit data yang tertulis adalah 78.000, sedang yang lainya rata – rata 300.000 hingga 1 juta manusia (Cribb, 1990 : 23)— orang-orang Bali dan Timika yang secara turun-temurun mengangap payudara itu seperti tangan dan kuping tak perlu ditutupi, mereka disikapi tidak fair oleh UU pornografi. Dan masih banyak lagi.


Anda akan menjadi seperti Bush, jika kebebasan dan demokrasi anda tentang. Dan tentu saja anda menjadi tidak fair. Dan anda kalah. Kepala boleh sama-sama berbulu, tetapi isi kepala tentu saja akan berbeda. Untuk itu diperlukan sebuah wilayah yang tanpa dominasi, dimana masing-masing individu anggota wilayah tersebut mampu menuangkan ekspresi dirinya tanpa rasa berat, leluasa, dan merasa nyaman, sebuah ruang dimana semuanya merasa “merdeka” dan memiliki akses yang sama, berkedudukan sama. Konsensus antara satu dengan yang lain dibentuk secara deliberatif dan melalui proses perjuangan kompromis dengan nalar rasional. Dan kebebasan tak pernah membohongi atau menipu, sebaliknya dia adalah refleksi perjalanan manusia yang luar biasa.

Dimuat di majalah, LSAF Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar